NIAT
semua ulama mazhab sepakat bahwa
mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim
berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad,
sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung
mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan
tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
TAKBIRATUL IHRAM
Shalat tidak
akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat
adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir,
dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan
Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar)
tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i :
boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif
dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi :
boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata
tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha
Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i,
Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah
wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
(Mughniyah; 2001)
Hanafi :
Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa
Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama
mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan
dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan
kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras
oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
BERDIRI
semua ulama
mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari
takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat
dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian
kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di
hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi
berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan
menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud
tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak
mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat
terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus
mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi :
bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat
baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan
hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki :
bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak
diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan
Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak
mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus
shalat dengan hatinya dan menggerakkan
lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk
menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di
dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
TENTANG
BACAAN
AL-FATIHAH
Hanafi :
membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa
saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 :
(Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa
yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122,
dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat.
Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat
sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan)
atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca
dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut
kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan ialah sunnah bukan
wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang
kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan
bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
(Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap
rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat
terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan
bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan
harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada
shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad
shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’
pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah
membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan
dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang
paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak
tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke
kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada
bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir,
baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan
disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk
ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja.
Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan
dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali :
wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca
surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua
rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan
nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus
pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan
pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi
lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya
yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah
pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab
menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin
mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus
mengucapkan amin.”
RUKU’
semua ulama
mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda
pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni
ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi :
yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak
wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua
telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga
diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah;
2001)
Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan
saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana
rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)
Hambali :
membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001) Kalimatnya menurut
Hambali :
Subhaana
rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)
Hanafi :
tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).
(Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta
disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman
hamidah (”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”)
SUJUD
Semua ulama
mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat.
Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki,
Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang
lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
Hambali :
yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua
lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung,
sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga
terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’.
Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam
sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab
yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
TAHIYYAT
tahiyyat di
dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi
setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan
tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan
salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah;
2001)
Hambali :
tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan
Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah,
bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat
(lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu
lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam
sejahtera”
’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah
yang saleh”
Asyhadu anlaa
ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna
muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut
Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu
lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan
shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta
barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah
yang saleh”
Asyhadu anlaa
ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada
sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna
muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut
Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul
mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta
barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah
yang saleh”
Asyhadu anlaa
ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna
muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut
Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu
lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta
barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah
yang saleh”
Asyhadu anlaa
ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada
sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna
muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli
’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
MENGUCAPKAN SALAM (MUGHNIYAH; 2001)
Syafi’i,
Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib.
(Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat
mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum
warahmatullaah
Hambali :
wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu
kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
TERTIB
diwajibkan
tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan
dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah
wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan dari sujud, begitu
seterusnya. (Mughniyah; 2001)
Berturut-turut :
diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga
antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung
setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah
atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada
selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah;
2001)
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Aliy.
1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad
Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin,
Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya
tiga Putra.
Rasjid,
Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan,
dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i,
Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya
Toha Putra.