Kamis, 17 Januari 2013

Shalat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam



NIAT
semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat  dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)

TAKBIRATUL IHRAM
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain  perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)

BERDIRI
semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan  lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)

TENTANG BACAAN AL-FATIHAH
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan ialah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”

RUKU’
semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001) Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim (”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah (”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”)

SUJUD
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)

Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)

TAHIYYAT
tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”

Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”

MENGUCAPKAN SALAM (MUGHNIYAH; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)

TERTIB
diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan dari sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)


DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.

PENGERTIAN AKHLAK DAN RUANG LINGKUPNYA



BAB I
PENDAHULUAN


              Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya bagi umat Islam, namun juga bagi orang-orang yang tidak percaya dengan Islam, bahkan yang memusuhi Islam sekalipun. Islam yang hadir pada saat manusia dalam kegelapan dan kebekuan moral, telah merubah dunia dengan wajah baru, terutama dalam hal “revolusi akhlak”.

            Akhlak pada dasarnya melekat pada diri seseorang, bersatu dengan perilaku atau perbuatan. Jika perilaku yang melekat itu buruk, maka disebut akhlak yang buruk atau akhlak mazmumah. Sebaliknya, apabila perilaku tersebut baik disebut akhlak mahmudah.

              Nabi Muhammad SAW di utus, tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia dari kebiadaban menuju umat yang berkedaban, sebagaimana sabda beliau SAW: “Sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak” . Oleh karena itu sudah selayaknya kita sebagai pengikut beliau untuk mengikuti sunnah-sunnah beliau, salah satunya adalah berakhlak sesuai dengan akhlak Nabi SAW. Begitu pentingnya akhlak, maka dalam makalah ini akan dibahas akhlak terhadap Allah SWT dan rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Akhlak

               Akhlak dapat didefinisikan dari dua sudut, yakni dari sudut kebahasaan (etimologi), dan dari sudut istilah (terminologi). Dari sudut kebahasaan akhlak berarti perangai, tabiat (kelakuan atau watak dasar), kebiasaan atau kelaziman, dan peradaban. Dalam kamus Al Mu’iam Al Falsafi, akhlak mengandung pengertian agama.
               Akar kata dari akhlak adalah dua kata, yakni khilqun (tabiat) dan khulqun (makhluk), sebagaimana dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits:

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung dan luhur” (QS. Al-Qalam:4)

“Bahwasanya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq (budi pekerti)”
(HR. Ahmad)

Adapun pengertian akhlak secara terminologi dapat kita jumpai dari pendapat beberapa ‘ulama:
1. Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
2. Syekh Ibrahim Anis mendefinisikan akhlak:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.

Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa ada pemikiran.
3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang yang tanpa adanya paksaan atau tekanan dari luar.

4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, jadi bukan karena main-main atau sandiwara.

B.     Tujuan Mempelajari Pendidikan Akhlak

            Setelah kita mempelajari akhlak, yang pasti kita sudah tahu apa yang akan kita kerjakan, karena akhlak itu ada yang baik dan ada yang buruk tinggal kita sendiri yang mengaturnya apakah ambil yang baik atau yang buruk. Karena kita orang yang beragama islam yang seharusnya berakhlak mulia. Kita harus berakhlak baik untuk diri kita sendiri juga pada orang lain, beberapa contoh perlunya pendidikan anak-anak yang akan dilakukan oleh orang tua sebagai berikut :

1) Harus mendidik anak-anaknya kearah yang baik serta mencegah pergaulan mereka dengan teman-teman yang jahat.

2) Jangan biarkan mereka menyenangi perhiasan dan kemewahan tau kesenangan, agar mereka tidak terbiasa selalu mencari kesengan yang bisa menghancurkan sifatnya yang lurus.
3) Jika seorang anak sudah kelihatan sudah bisa membedakan antara baik dan buruk dengan terbitnya perasaan malu pada anak tersebut maka bantulah ia dengan meneruskan pendidikan dengan akhlaknya yang baik.

4) Seorang anak harus dilarang mengerjakan pekerjaan yang tersembunyi jika hal itu membawa kejelekan.

5) Harus diajarkan pentingnya memberi dan bukan meminta, dan pekerjaan sebagai peminta adalah pekerjaan yang rendah walaupun orang itu kaya, dan akan merupakan kehinaan jika orang itu fakir atau miskin.

6) Dilarang bersumpah baik benar maupun paslu agar tidak terbiasa dengan hal yang tersebut.

7) Usahakanlah agar takut melakukan pencurian, makan-makanan haram, berkhianat menipu, berdusta, melakukan hal-hal yang jelek dan lain sebagainya yang mungkin dapat di lakukan oleh mereka.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah:
-          Supaya seseorang terbiasa melakukan yang baik, indah, terpuji, serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
-          Supaya interaksi manusia dengan Allah dan dengan sesame manusia lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.


C.    Ruang Lingkup  Pembahasan Ilmu Akhlak

Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak terbagi dalam beberapa bagian, yaitu:
1.      Akhlak terhadap Allah
Akhlak yang baik kepada Allah berucap dan bertingkah laku yang terpuji terhadap Allah SWT, baik melalui ibadah langsung kepada Allah, seperti shalat, puasa dan sebagainya, maupun melalui perilaku-perilaku tertentu yang mencerminkan hubungan atau komunikasi dengan Allah di luar ibadah itu.
2.      Akhlak terhadap manusia
-          Akhlak terhadap diri sendiri; setia, benar, adil, memelihara kesucian, malu, keberanian, kekuatan, kesabaran, kasih sayang, dan hemat.
-          Akhlak terhadap ibu dan bapak; patuh, ihsan, lemah lembut, merendahkan diri di hadapannya, berterima kasih, dan mendo’akan mereka.
-          Akhlak terhadap suami-istri; suami-istri merupakan ikatan yang menghubungkan kasih sayang seorang laki-laki dan perempuan, sehingga  melahirkan komunikasi yang baik dengan didasari kasih sayang yang tulus serta melahirkan hubungan yang harmonis.
-          Akhlak terhadap anak; merawat, mengasuh, membimbing dan mengarahkan anak merupakan bagian yang sangat penting dalam mengembangkan akhlak yang baik.
-          Akhlak terhadap tetangga; berperilaku terpuji terhadap tetangga sebagai bentuk sikap sociality of human.
3.      Akhlak terhadap lingkungan
Berakhlak kepada lingkungan alam adalah menyikapinya dengan cara memelihara kelangsungan hidup dan kelestariannya.
4.      Akhlak terhadap waktu
Berakhlak terhadap waktu adalah dengan disiplin waktu, khususnya dalam bidang ibadah yang dituntut untuk memperhatikan waktu. Sebagai contoh shalat lima waktu tidak dapat dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian, hidup tidak menghormati waktu atau tidak disiplin merupakan suatu sifat tercela dalam Islam dan sifat ini tidak layak dilakukan oleh seorang muslim.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

  1. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
  2. Ada beberapa alasan mengapa kita harus berakhlak baik kepada Allah SWT, antara lain:
a.       Allah lah yang menciptakan manusia
b.      Allah lah yang memberi perlengkapan yang sempurna kepada manusia.
c.       Allah lah yang telah menciptakan dan menyediakan sarana dan berbagai bahan yang dapat dipergunakan oleh manusia.
d.      Allah jualah yang telah memuliakan manusia dengan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.
  1. Tujuan pendidikan akhlak adalah:
a.       Supaya seseorang terbiasa melakukan yang baik, indah, terpuji, serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b.      Supaya interaksi manusia dengan Allah dan dengan sesame manusia lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.
  1. Ruang lingkup pembasan ilmu akhlak adalah:
a.       Akhlak terhadap Allah
b.      Akhlak terhadap manusia
c.       Akhlak terhadap lingkungan
d.      Akhlak terhadap waktu


DAFTAR PUSTAKA


Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, 2005.

Sayyid Ahmad Hasyimi Al-Mishri; Mukhtar, Al-Ahadits An-Nabawiyyah, Surabaya: Haromain Jaya.

Umar Barmawi, Materi Akhlak, Bandung: CV. Ramadhani, 1976.


LARANGAN BANYAK BERTANYA



LARANGAN BANYAK BERTANYA

Diwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Tinggalkanlah sesuatu yang tidak aku anjurkan kepada kamu. Karena sesungguhnya kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku perintahkan sesuatu kepada kamu, maka lakukanlah semampu kamu. Dan apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka ditinggalkanlah!” (HR Bukhari [7288] dan Muslim [1337]).

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah r.a., dari Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya, Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka terhadap ibu bapak, [1] mengubur hidup-hidup (membunuh) anak perempuan, [2] menahan harta sendiri dan terus meminta kepada orang lain.[3] Dan Allah membenci atas kamu tiga perkara; Qiila wa qaala[4], banyak bertanya [5], dan membuang-buang harta,[6] ” (HR Bukhari [1477] dan Muslim [1715]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah meridhai tiga perkara atas kalian dan membenci tiga perkara. Allah ridha kalian hanya menyembah-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, berpegang dengan tali Allah dan tidak bercerai-berai.[7] Dan ia membenci qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-buang harta’.” (HR Muslim [1715]).

Kandungan Bab:
Al-Hafizh Ibnu Rajah al-Hanbali berkata dalam kitab Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (Halaman 138-140 al-Muntaqa),
“Hadits-hadits ini berisi larangan bertanya masalah-masalah yang tidak diperlukan dan jawabannya dapat merugikan si penanya sendiri. Misalnya pertanyaan, Apakah ia berada dalam Neraka ataukah dalam Surga? Apakah yang dinisbatkan kepadanya itu benar ayahnya ataukah orang lain? Dan juga larangan bertanya untuk menentang, bercanda atau memperolok-olok, seperti yang sering dilakukan oleh kaum munafikin dan lainnya. Mirip dengannya adalah mempertanyakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memprotesnya untuk menentangnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin dan Ahli Kitab. ‘Ikrimah dan ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan masalah ini. Dan hampir mirip dengannya adalah bertanya tentang perkara-perkara yang Allah sembunyikan atas makhluk-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka. Seperti bertanya tentang bila terjadi hari Kiamat dan tentang ruh.”

Hadits tersebut juga berisi larangan banyak bertanya tentang sejumlah besar masalah halal dan haram yang dikhawatirkan pertanyaan tersebut menjadi sebab turunnya perkara yang lebih berat lagi. Misalnya bertanya tentang sejumlah besar perkara halal dan haram yang bisa menjadi turunnya perkara yang lebih berat dari sebelumnya. Misalnya bertanya tentang kewajiban haji, apakah wajib dikerjakan setiap tahun ataukah tidak?
Dalam kitab ash-Shahiih diriwayatkan dari Sa’ad r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim terhadap kaum Muslimin adalah yang bertanya tentang suatu perkara yang belum diharamkan, lalu menjadi haram karena pertanyaannya itu,” (HR Bukhari [7289] dan Muslim [2358]).

Rasulullah saw. tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecuali yang berasal dari kaum Arab Badui dan para utusan yang datang menemui beliau. Beliau ingin mengambil hati mereka. Adapun kaum Muhajirin dan Anshar yang bermukim di Madinah yang telah kokoh keimanannya dalam hati, mereka dilarang banyak bertanya. Sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim dari an-Nawaas bin Sam’an, ia berkata: “Aku tinggal bersama Rasulullah saw. di Madinah, tidaklah ada yang menghalangiku hijrah ke Madinah kecuali karena takut akan banyak bertanya. Karena itu ketika kami telah berhijrah, maka kami tidak banyak bertanya kepada beliau.” (HR Muslim [2553]).

Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Kami dilarang bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah saw. Sungguh kami amat suka bila ada seorang lelaki yang cerdas dari kalangan Arab Badui datang dan bertanya kepada beliau lalu kami mendengarnya.” (HR Muslim [12]).

Para Sahabat Nabi kadang kala bertanya kepada Nabi tentang hukum beberapa masalah yang belum terjadi. Namun untuk diamalkan nantinya apabila benar-benar terjadi. Sebagaimana halnya mereka pernah bertanya, “Kami akan menghadapi musuh esok hari, kami tidak membawa pisau, lalu bolehkah kamu menggunakan ruas kayu yang tajam?” (HR Bukhari [2488] dan Muslim [1968]).

Mereka juga bertanya tentang umaraa’yang telah beliau sebutkan akan muncul sepeninggal beliau, tentang mentaati mereka dan hukum memerangi mereka. Hudzaifah r.a. bertanya kepada beliau tentang fitnah-fitnah akhir zaman dan apa yang harus ia lakukan.

Semua itu menunjukan makruh dan tercelanya banyak bertanya. Namun sebagian orang beranggapan bahwa larangan itu khusus bagi orang-orang yang hidup zaman Nabi saw. karena dikhawatirkan akan diharamkan perkara yang belum diharamkan atau diwajibkan perkara yang sulit dikerjakan. Namun setelah Rasulullah saw wafat kekhawatiran itu telah sirna. Namun perlu diketahui bahwa bukan itu saja sebab larangan banyak bertanya. Ada sebab lainnya, yaitu menunggu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, karena tidak satupun perkara yang ditanyakan melainkan telah didapati penjelasannya dalam Al-Qur'an.

Maknanya, seluruh perkara yang dibutuhkan kaum Muslimin yang berkaitan dengan agama mereka pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan pasti telah disampaikan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu tidak ada keperluan bagi seseorang untuk menanyakannya lagi. Sebab Allah Mahatahu apa yang menjadi kemaslahatan bagi hamba-Nya, Mahatahu apa yang menjadi hidayah dan manfaat bagi mereka. Allah pasti telah menjelaskannya kepada mereka sebelum mereka menanyakannya. Sebagaimana yang Allah swt katakan dalam firman-Nya, “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat,” (An-Nisaa’: 176).

Maka dari itu, tidak perlu lagi menanyakan, apalagi menanyakannya sebelum terjadi dan sebelum dibutuhkan. Namun kebutuhan yang penting sekarang ini adalah memahami apa yang telah dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kemudian mengikuti dan mengamalkannya.

--------------------------------------

[1] Durhaka terhadap orang tua haram hukumnya, bahkan termasuk salah satu dosa besar menurut kesepakatan para ulama. Rasulullah saw hanya menyebutkan ibu di sini karena hak dan kehormatannya lebih besar daripada bapak. Menyambung tali silaturrahim dengannya tentu lebih utama.

[2] Yakni, mengubur mereka hidup-hidup, ini merupakan adat tradisi kaum Jahiliyyah.

[3] Man’un wa haatun artinya, tidak menunaikan kewajiban dan terus meminta apa yang bukan haknya.

[4] Yakni, menceritakan seluruh perkara yang didengarnya yang tidak ia ketahui kebenarannya dan juga tidak menurut dugaan kuatnya. Cukuplah seorang disebut berdosa dan berdusta apabila ia menyampaikan seluruh perkatan yang didengarnya.

[5] Yakni, banyak bertanya dan menanyakan perkara-perkara yang belum terjadi dan tidak ada keperluannya.

[6] Yakni, bersikap mubazir dan membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak disyari’atkan yang dapat membawa keuntungan (manfaat) dunia dan akhirat.

[7] Yaitu, berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw. Serta tetap bersama jama’ah kaum Muslimin dan saling bersatu padu satu sama lainnya. Ini merupakan salah satu inti dan tujuan syari’at.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/215 - 219.